Gresik, lenteranusantaranews.com
Keputusan Bupati Gresik Nomor 050/664/HK/437.12/2024 menetapkan penyaluran hibah Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang sanitasi tahun anggaran 2024 dengan nilai total Rp5.435.000.000. Dana jumbo ini tersebar di empat kecamatan dengan rincian penerima yang telah ditentukan melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM).
Desa Randuboto, Kecamatan Sidayu, menjadi penerima terbesar. Lima KSM di desa ini masing-masing memperoleh Rp487.000.000, yakni KSM Tanjung Sari Sehat, Balok Bersih, Rajawali, Merdeka Selatan, dan Kampung Baru. Total dana yang mengalir ke Randuboto mencapai Rp2.435.000.000. Angka ini menjadikan Randuboto sebagai pusat kucuran dana terbesar dalam program sanitasi 2024.
Selain Randuboto, Desa Klangonan di Kecamatan Kebomas menerima Rp500.000.000 melalui KSM Bintang Sembilan. Kecamatan Manyar mengantongi Rp2.000.000.000, dibagi ke empat desa: Betoyoguci melalui KSM Kradjan Lor, Betoyokauman melalui KSM Omahsawah, Morobakung melalui KSM Bunga Dahlia, dan Gumeno melalui KSM Guyub Berkarya. Masing-masing memperoleh Rp500.000.000. Desa Dalegan di Kecamatan Panceng juga mendapatkan jatah Rp500.000.000 melalui KSM Pasir Putih.
Seluruh paket proyek memiliki pola yang sama: satu unit instalasi pengolahan air limbah komunal, 50 sambungan rumah, dengan kapasitas 200 jiwa. Nilai tiap paket berkisar Rp487.000.000 hingga Rp500.000.000. Jika dihitung, biaya per sambungan rumah mencapai Rp9,7 juta hingga Rp10 juta, atau setara Rp2,4 juta hingga Rp2,5 juta per jiwa. Angka ini jauh melampaui standar biaya pembangunan sanitasi sederhana menurut Kementerian PUPR.
Keseragaman anggaran di semua desa menimbulkan tanda tanya besar. Kondisi geografis pesisir seperti di Dalegan jelas berbeda dengan kawasan daratan di Kebomas atau Manyar, namun nilai proyek tercatat identik. Praktik seperti ini sering dijadikan pola untuk mempermudah penggelembungan biaya dan membagi rata keuntungan proyek.
Penyaluran dana melalui KSM juga rawan disalahgunakan. Dalam banyak kasus, KSM hanya berfungsi sebagai formalitas administratif. Pengerjaan lapangan dikendalikan oleh kontraktor atau pihak ketiga yang dekat dengan pejabat desa maupun dinas terkait. Dengan mekanisme ini, kontrol masyarakat menjadi lemah, sementara potensi penyimpangan semakin besar.
Pengawasan teknis yang minim membuka celah korupsi lebih lebar. Laporan realisasi sering kali hanya berbentuk dokumen tanpa verifikasi lapangan yang detail. Hal ini memungkinkan volume pekerjaan dikurangi, kualitas diturunkan, bahkan sambungan rumah tidak sesuai jumlah yang dijanjikan. Namun di atas kertas, proyek tetap dinyatakan selesai dengan anggaran penuh.
Dengan Rp5,4 miliar yang hanya menghasilkan 500 sambungan rumah, manfaat nyata bagi warga sangat terbatas. Padahal, dengan harga pasar normal, dana sebesar ini seharusnya mampu membangun jaringan sanitasi untuk dua kali lipat rumah tangga. Selisih besar antara anggaran dan hasil menunjukkan ketidakseimbangan serius yang berpotensi menjadi ladang korupsi.
Program sanitasi yang seharusnya meningkatkan kesehatan lingkungan kini dibayangi risiko penyimpangan. Randuboto, Klangonan, Betoyoguci, Betoyokauman, Morobakung, Gumeno, dan Dalegan tercatat sebagai penerima, namun tanpa pengawasan ketat dari aparat penegak hukum dan partisipasi masyarakat, dana miliaran rupiah ini rawan habis di atas kertas, sementara manfaatnya jauh dari harapan warga.
Hingga berita ini diangkat, pihak desa penerima dana hibah belum bisa memberikan keterangan secara resmi.
(red)